Dalam tingkat nasional, perkembangan pariwisata belum berkembang secara merata dan optimal, sehingga terjadi ketidakseimbangan pertumbuhan sektor pariwisata. Kondisi yang demikian ini juga dijumpai di Serang, dimana sektor pariwisata berkembang cukup pesat pada satu daerah. Sementara di daerah lain yang potensinya layak dikembangkan belum dimanfaatkan secara optimal. Tujuan yang akan dilakukan yaitu, membuat perancangan sistem informasi pariwisata berbasis Web di Kabupaten serang. Usaha untuk mempromosikan dan mengenalkan wisata Kabupaten Serang kepada masyarakat luas, Dengan promosi wisata ini diharapkan menarik wisata di Kabupaten Serang yang dapat menambah pendapatan daerah. Metode penelitian yang digunakan interview yaitu, metode pengumpulan data dengan melakukan tanya-jawab sedangkan observasi yaitu, mengadakan penelitian langsung kepada badan pemberdayaan masyarakat. Dalam pembangunan website ini menggunakan metode pengembangan sistem Prototipe yang terdiri dari pengembangan, mendefinisikan, perancangan kilat. Tampilan website menggunakan bahasa pemrograman PHP dengan editornya menggunakan Ultra Edit, DBMS MySql, dan menggunakan Apache sebagai web servernya. Tampilan web ini memanfaatkan fasilitas gambar, Informasi pariwisata dengan menggunakan internet diharapkan dapat menambah minat masyarakat luas terhadap objek wisata di Kabupaten Serang. Website ini dapat dijadikan sebagai sarana promosi terutama ke mancanegara dari berbagai informasi yang disediakan sehingga berpengaruh terhadap jumlah pengunjung objek wisata Kabupaten Serang.
Daya tarik kepariwisataan tersebut secara garis besar diklasifikan dalam wisata alam, wisata sejarah dan budaya, wisata buatan (binaan), serta kehidupan masyarakat tradisional (living culture). Hingga saat ini telah diidentifikasi keberadaan 241 obyek wisata yang terdiri dari obyek wisata kategori alam (60 obyek) dan obyek wisata kategori buatan (181 obyek). Secara kewilayahan, pola pengembangan pariwisata Provinsi Banten terdiri dari Kawasan Wisata Pantai Barat, Kawasan Wisata Ziarah, Kawasan Wisata Pantai Selatan dan Kawasan Wisata Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Provinsi Banten (Diparsenibud 2004) telah ditetapkan 18 kawasan pengembangan pariwisata yang tersebar di seluruh kabupaten/kota berdasarkan hasil pengelompokan (clustering) obyek-obyek wisata yang ada.
Dari 18 kawasan pengembangan pariwisata yang ditetapkan tersebut, sebagian telah bertumbuhkembang menjadi obyek wisata nasional maupun internasional, seperti Kawasan Pantai Anyer-Carita-Tanjung Lesung, Living Culture Baduy, dan TNUK. Namun bertumbuhkembangnya kawasan wisata secara umum masih terkonsentrasi pada wilayah utara dan barat Provinsi Banten. Sedangkan kawasan-kawasan pengembangan wisata di wilayah selatan belum bertumbuhkembang terutama disebabkan oleh keterbatasan infrastruktur (transportasi dan akomodasi wisata). Meskipun kinerja pariwisata daerah melalui indikator laju pertumbuhan tamu nusantara dan tamu mancanegara pada hotel bintang dan non bintang mengalami peningkatan dalam kurun waktu 2002-2004 masing-masing 40,84% dan 40,25% per tahun, namun rata-rata lama menginap tamu mancanagera menunjukkan kecenderungan stagnan, yaitu dari 4,96 hari (2002), 4,99 hari (2003) dan 4,12 hari (2004) dan 2,98 hari (2005). Disamping itu, proporsi kunjungan tamu nusantara dan mancanegara pada hotel bintang dan non bintang di wilayah selatan (Kabupaten Pandeglang dan Lebak) hingga tahun 2005 masing-masing hanya sebesar 23,84% dan 11,47%
A. Penanaman Modal
Meskipun terjadi kecenderungan penurunan investasi (PMA dan PMDN) selama periode 2002-2004, yang mendudukkan nilai investasi hanya sebesar Rp. 2,9 trilyun melalui 36 proyek hingga tahun 2004, namun pada tahun 2005 realisasi investasi dapat ditingkatkan kembali menjadi Rp. 13,59 Trilyun melalui 102 proyek. Pencapaian nilai proyek investasi pada tahun 2005 tersebut telah menempatkan Banten sebagai tujuan investasi tertinggi di tingkat nasional. PMA mendominasi nilai dan jumlah proyek investasi dengan rata-rata kontribusi per tahun masing-masing 68,33% dan 80,52% per tahun, dimana hingga tahun 2006 tercatat realisasi nilai PMA sebesar Rp. 6,06 Trilyun melalui 75 proyek, baik yang bersifat investasi baru maupun perluasan investasi.
Berdasarkan realisasi investasi dalam kurun waktu 2002-2006, orientasi lokasi PMA khususnya tertuju pada Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang, dimana masing-masing sekitar 68,33% dan 21,67% terhadap jumlah realisasi PMA. Orientasi PMA terhadap Kabupaten Serang dan Kota Cilegon masing-masing hanya sekitar 6,67% dan 3,33%. Realisasi PMA di Kabupaten Lebak selama kurun waktu tersebut tercatat hanya 1 proyek dengan nilai 230.655 US$, sedangkan di Kabupaten Pandeglang realisasi PMA sama sekali belum ada. Demikian halnya dengan realisasi PMDN yang terorientasi di Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang dan Kota Tangerang, dimana masing-masing menyerap sekitar 42,11%, 31,58% dan 21,05% dari seluruh realisasi PMDN 2002-2004.
Sektor usaha yang diminati melalui investasi masih terkonsentrasi pada sektor usaha perdagangan dan reparasi (sekitar 20,33% dari jumlah proyek PMA), industri logam dasar, barang dari logam, mesin dan elektronika (17,01%), industri karet, barang dari karet dan plastik (9,96%), industri kimia dasar, barang kimia, dan farmasi (9,96%), dan industri tekstil (7,47%). Minat usaha melalui PMA dalam mendorong mengembangkan usaha berbasis sumberdaya lokal atau yang menyentuh sektor-sektor ekonomi yang menjadi mata pencaharian utama masyarakat (pertanian) sudah mulai tumbuh namun dalam kapasitas yang masih relatif kecil, antara lain diperlihatkan dengan adanya persetujuan proyek PMA pada sektor usaha pertanian hortikultura, sayuran dan bunga (1 proyek), industri pengolahan, pengawetan buah-buahan dan sayuran (1 proyek) serta industri tepung dan pati (1 proyek).
B. Perindustrian
Terjadi penurunan jumlah industri dalam kurun waktu 2001-2003, dari 1.664 perusahaan (2001) menjadi 1.576 perusahaan (2003) dengan laju penurunan rata-rata per tahun 2,67% atau sekitar 44 perusahaan yang menutup usahanya per tahun. Penurunan jumlah industri hampir terjadi di seluruh kabupaten/kota, kecuali di Kabupaten Tangerang yang mengalami peningkatan 0,97%. Tingkat penurunan jumlah industri di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang cukup tinggi, dimana masing-masing mencapai 45,00% dan 14,15%. Penurunan jumlah industri tersebut berimbas pada menurunnya jumlah tenaga kerja yang terserap, dengan laju penurunan rata-rata per tahun 1,42%, dimana tingkat penurunan tertinggi terjadi di Kota Cilegon (38,11%) dan Kabupaten Pandeglang (9,65%).
Berdasarkan perbandingan antara jumlah tenaga kerja dengan jumlah perusahaan pada 22 golongan industri yang ada di Provinsi Banten menunjukkan sekitar 98,16% perusahaan yang ada tergolong dalam industri besar (menyerap tenaga kerja lebih dari 100 orang), sisanya 1,59% perusahaan tergolong dalam industri menengah (menyerap tenaga kerja 20 sampai 99 orang). Dalam hal nilai tambah yang dihasilkan industri hingga tahun 2003, meskipun menunjukkan peningkatan dari Rp. 29.320,56 Milyar (2001) menjadi Rp. 34.845,41 Milyar (2003), namun proporsi nilai tambah antara industri besar dengan industri menengah menunjukkan kesenjangan yang cukup tinggi, yaitu masing-masing 99,77% dan 0,23%.
Nilai impor bahan baku, bahan antara (intermediate), dan komponen untuk seluruh industri meningkat dari 28 persen pada tahun 1993 menjadi 30 persen pada tahun 2002. Khusus untuk industri tekstil, kimia, dan logam dasar nilai tersebut mencapai 30-40 persen, sedangkan untuk industri mesin, elektronik dan barang-barang logam mencapai lebih dari 60 persen. Tingginya kandungan impor ini mengakibatkan rentannya biaya produksi terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah dan kecilnya nilai tambah yang mengalir pada perekonomian domestik (Perpres No. 7 Tahun 2004 Tentang RPJM Nasional 2004-2009). Sesuai dengan jenis industri yang mendominasi di Provinsi Banten, maka kondisi ini diperkirakan turut mewarnai permasalahan lemahnya struktur industri di tingkat daerah.
C. Perdagangan
Posisi strategis Provinsi Banten yang merupakan gerbang barat Pulau Jawa (sebagai simpul rantai distribusi dari Pulau Sumatera menuju Pulau Jawa dan sebaliknya), berada dekat dengan perlintasan pelayaran internasional (Selat Sunda merupakan jalur ALKI yang menghubungkan antara Asia Barat dan sekitarnya dengan Asia Pasifik), serta berbatasan langsung dengan pusat pemasaran nasional yaitu DKI Jakarta. Pelabuhan Merak merupakan salah satu dari 6 (enam) pelabuhan di Pulau Jawa dengan volume dan nilai ekspor tertinggi (Statistik Indonesia 2002). Selanjutnya pelabuhan-pelabuhan besar di Provinsi Banten merupakan salah satu dari 10 (sepuluh) pelabuhan di tingkat nasional dengan volume angkutan tertinggi.
Volume ekspor pada tahun 2005 mengalami penurunan yaitu dari 1.274.510 ton (2000) menjadi 1.000.092 Ton (2005), akan tetapi dari nilai ekspor (USD) selama kurun waktu tersebut mengalami kenaikan 17,49% atau USD. 478.464.506. pada tahun 2000 naik menjadi USD. 562.154.306 pada tahun 2005. Impor melalui pelabuhan-pelabuhan utama di Provinsi Banten lebih mendominasi daripada ekspor, baik dari sisi volume maupun nilainya. Sejak tahun 2000 hingga tahun 2005 rata-rata volume impor telah mencapai 6.888.500 Ton dengan volume terbesar pada tahun 2004 yang mencapai 10.199.949 Ton. Sedangkan nilai ekspor rata-rata adalah US$ 2.127.659.343 dan US$ 3.581.975.185, dengan laju pertumbuhan volume dan nilai impor rata-rata per tahun (2000-2005) masing-masing sebesar 11,84% dan 14,96%.
Hingga tahun 2004 terdapat 29 jenis komoditi ekspor melalui pelabuhan-pelabuhan utama di Provinsi Banten. Berdasarkan volume dan nilai ekspor atas seluruh komoditi tersebut, menunjukkan kesenjangan yang sangat tinggi, yang ditunjukkan oleh dominasi bahan kimia organik, besi dan baja, serta kertas, barang dari pulp/kertas dengan persentase volume ekspor masing-masing 38,71%, 31,40% dan 15,97%, serta dengan nilai ekspor masing-masing 47,15%, 23,30% dan 17,51%. Bahan kimia anorganik dan aneka produk kimia meskipun dengan volume dan nilai yang cukup jauh dari komoditi diatas, namun masih memiliki persentase volume dan nilai ekspor yang berkisar antara 2 sampai 5%. Sedangkan 24 komoditi lainnya hanya memiliki persentase volume dan nilai ekspor rata-rata di bawah 1,06%.
Hingga tahun 2004 terdapat 369 pasar, yang terdiri dari 197 pasar dengan bangunan, 150 pasar tanpa bangunan, dan 22 pasar hewan. Di Kota dan Kabupaten Tangerang, jumlah pasar per kecamatan sudah telah mencapai 4-5 pasar/kecamatan atau setiap pasar melayani 2-3 desa/kelurahan, sedangkan di Kota Cilegon, Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak baru mencapai 2-3 pasar/kecamatan atau setiap pasar melayani 4-6 desa/kelurahan. Hasil produksi lokal belum diserap secara optimal, dimana kondisi tersebut setidaknya dapat ditunjukkan dengan cukup tingginya laju inflasi di Kota Serang/Cilegon pada tahun 2003 (5,21%) dan 2004 (6,40%) yang lebih besar dari laju inflasi nasional (tahun 2003 sebesar 5,06% dan tahun 2004 sebesar 6,36%).
D. Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
Sampai dengan tahun 2004 jumlah koperasi mencapai 5.001 unit dengan jumlah anggota sebanyak 737.543 orang. Berdasarkan jumlah tersebut, koperasi yang masih aktif hanya sebesar 3.261 unit atau hanya sekitar 65,21%, namun baru sekitar 74,49% unit koperasi aktif yang memiliki manajer koperasi. Persentase jumlah koperasi non aktif semakin membesar dari 31,26% (1.489 unit) pada tahun 2003 menjadi 34,79% (1.740 unit) pada tahun 2004. Selanjutnya, jumlah SHU yang dihasilkan dalam kurun waktu 2002-2004 juga mengalami penurunan dari sekitar Rp. 71,60 milyar menjadi Rp. 51,12 milyar, atau
dengan tingkat penurunan 28,60%.
Hingga tahun 2004 industri kecil di Provinsi Banten berjumlah 23.789 unit, sedangkan industri kerajinan 33.446 unit. Berdasarkan jumlah SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) yang diberikan pada tahun 2004 menunjukkan legalitas usaha industri kecil dan kerajinan baru mencapai sekitar 22,15%. Industri kecil sebagian besar tersebar di Kabupaten Lebak (13.097 unit), sedangkan industri kerajinan paling berkembang di Kabupaten Tangerang (14.449 unit). Berbagai permasalahan yang diperkirakan masih dihadapi oleh UMKM di Provinsi Banten adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia UMKM khususnya dalam bidang manajemen, organisasi, penguasaan teknologi, dan pemasaran; rendahnya kompetensi kewirausahaan UMKM; keterbatasan akses kepada sumber daya produktif terutama terhadap permodalan, teknologi, informasi dan pasar; produk jasa lembaga keuangan sebagian besar masih berupa kredit modal kerja, sedangkan untuk kredit investasi sangat terbatas; peran masyarakat dan dunia usaha dalam pelayanan kepada UMKM juga belum berkembang, karena pelayanan kepada UMKM masih dipandang kurang menguntungkan.
O Luas panen dan produksi budidaya padi dari 338.666 ha dan 1.468.765 ton atau dengan tingkat produksi per hektar mencapai 4,34 ton/ha pada tahun 2002 telah berkembang menjadi 364.721 ha dan 1.812.495 ton atau dengan tingkat produksi per hektar mencapai 49,7 ton/ha hingga tahun 2005. Bila mengacu pada pola perkembangannya, pada tahun 2005 dan 2006 tingkat produksi per hektar diperkirakan tetap meningkat meskipun dengan kecenderungan melambat. Praktek budidaya selama kurun waktu 2002-2004 semakin membaik (intensif), sebagaimana tercermin dari laju pertumbuhan produksi rata-rata yang lebih tinggi (11,16% per tahun) dari laju pertumbuhan luas panen rata-rata (2,33% per tahun) atau dengan rasio 4,78 (apabila nilai rasio > 1 maka kecenderungannya intensifikasi, dan apabila nilai rasio < 1 maka kecenderungannya ekstensifikasi).
Meskipun rata-rata laju pertumbuhan kinerja produksi per luas panen untuk seluruh jenis tanaman palawija yang diusahakan meningkat, namun pola dan praktek produksi palawija relatif belum bertumbuhkembang, dimana dengan laju pertumbuhan rata-rata luas panen yang cukup baik (2,48% per tahun) namun peningkatan laju pertumbuhan rata-rata produksi hanya sebesar 4,08% per tahun, atau dengan rasio yang hanya mencapai 1,64. Diantara berbagai jenis tanaman palawija yang diusahakan, hanya ubi kayu dan kacang kedelai yang memiliki rasio laju pertumbuhan produksi rata-rata berbanding laju pertumbuhan luas panen rata-rata di atas angka 1 (masing-masing 1,41 dan 6,75).
Secara rata-rata luas panen untuk jenis tanaman sayuran yang diusahakan mengalami peningkatan dari 13.777 ha pada tahun 2002 menjadi 19.095,13 ha hingga tahun 2005. Namun dalam kurun waktu yang sama, produktifitas untuk jenis tanaman sayuran yang diusahakan semakin menurun, dimana berdasarkan kapasitas produksi per luas panen dari 59,71 ton/ha pada tahun 2002 menjadi 7,51 ton/ha pada tahun 2005. Penurunan tersebut antara lain disebabkan oleh perubahan variasi minat petani terhadap jenis tanaman yang diusahakan dari tahun ke tahun. Laju pertumbuhan luas panen dalam kurun waktu 2002-2004 bergerak pada angka 17,75% per tahun, namun laju pertumbuhan produksi justeru berada pada posisi -0,73% per tahun.
Budidaya ternak di Provinsi Banten meliputi jenis budidaya sapi potong, sapi perah, kerbau, kuda, kambing, domba dan babi. Secara keseluruhan, jumlah populasi ternak yang dibudidayakan semakin meningkat antara tahun 2002-2004 dengan rata-rata laju pertumbuhan jumlah dan jenis populasi sebesar 24,97% per tahun. Persediaan (stock) ternak untuk kebutuhan konsumsi daging pada tahun 2004 dibandingkan dengan jumlah ternak yang dipotong menunjukkan sisi penyediaan yang sudah sangat memadai. Khusus untuk ternak sapi, jumlah populasi ternak yang tersedia pada tahun 2004 hanya 24,25% terhadap jumlah ternak yang dipotong, sehingga dalam penyediaan kebutuhan konsumsi sebagian besar masih didatangkan dari luar.
Populasi ternak unggas di Provinsi Banten dalam kurun waktu 2002-2005 mengalami peningkatan dengan rata-rata laju pertumbuhan jumlah untuk seluruh jenis sebesar 16,70%, yang meliputi ayam buras, ayam ras (pedaging dan petelur) serta itik. Sedangkan untuk produksi ternak unggas, walaupun secara keseluruhan masih memiliki rata-rata laju pertumbuhan produksi sebesar 14,79%, namun untuk produksi ternak yang menghasilkan daging (ayam buras dan ayam pedaging) setiap tahunnnya mengalami penurunan. Pada tahun 2005-2006 diperkirakan populasi dan produksi unggas mengalami penurunan seiring dengan merebaknya kasus flu burung yang menyebabkan adanya kegiatan pemusnahan unggas maupun penurunan diakibatkan kekhawatiran masyarakat dalam mengkonsumsi daging unggas.
Nilai tambah komoditas ini masih rendah karena pada umumnya pemasaran atau ekspor dilakukan dalam bentuk segar (produk primer) dan olahan sederhana. Perkembangan industri hasil pertanian belum optimal, ditunjukkan oleh rendahnya tingkat utilisasi industri hasil pertanian dan perikanan. Peningkatan nilai tambah produk pertanian melalui proses pengolahan memerlukan investasi dan teknologi pengolahan yang lebih modern. Kondisi ini diperberat oleh semakin tingginya persaingan produk dari luar negeri, baik yang masuk melalui jalur legal maupun ilegal. Perkembangan dalam tiga tahun terakhir, Indonesia sudah menjadi importir netto untuk komoditas tanaman bahan makanan, hasil ternak dan pakan ternak, beras, jagung, dan gula.
Pendapatan per kapita petani/nelayan dan masyarakat di sekitar hutan di Provinsi Banten dari sekitar Rp. 6.538.232 per kapita/tahun pada tahun 2002 meningkat menjadi Rp. 8.004.179 per kapita/tahun hingga tahun 2005, dan bila melihat rata-rata pengeluaran per kapita per bulan pada tahun 2005 yang sebesar Rp. 1.956.287 per kapita/bulan tentunya pendapatan petani masih jauh tertinggal (Rp. 667.015 per kapita/bulan). Selanjutnya, sebagian besar kelompok masyarakat ini termasuk golongan miskin dengan usaha pertanian, perikanan dan kehutanan, yang masih tradisional dan bersifat subsisten.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar